Oleh: Gemah Putra R
Buruknya
cuaca dunia akibat pemanasan global (global
warming) yang semakin meningkat, menimbulkan berbagai masalah lingkungan
yang melanda sebagian wilayah di permukaan bumi. Pemanasan global menyebabkan
iklim dan suhu bumi tidak menentu, serta kekeringan dan kebanjiran di banyak
negara. Hal tersebut tidak hanya menyebabkan punahnya beberapa satwa, tetapi
juga mengancam keberlangsungan hidup manusia.
Bertambahnya jumlah penduduk dunia disertai menurunnya produktifitas pangan
menjadi ancaman serius yang dihadapi. hal ini mengingatkan akan ramalan Malthus.
Kekhawatiran terjadinya krisis pangan sebenarnya sudah lama ada. Thomas Malthus
(1798), menyebutkan bahwa penduduk akan bertambah menurut deret ukur dan
produksi makanan bertambah sesuai deret hitung sehinggah di masa depan krisis
pangan akan melanda dunia. Dampak badai el-nino yang merusak lebih dari
sebagian areal pertanian di Amerika Serikat tahun 2012, menyebabkan tingkat
produktifitas pangan dunia anjlok, dan di tahun tersebut pula stok biji-bijian
mencapai titik terendah dalam tujuh puluh tahun terakhir.
Krisis
Pangan Dunia
Dampak
menurunnya produktifitas pangan di negara-negara penghasil utama pangan dunia seperti
Amerika Serikat dan Rusia, bukan hanya berdampak terhadap negara tersebut, tapi
juga dirasakan oleh negara-negara yang selama ini mengalami kekurangan dalam
hal produktifitas bahan pangan mereka. Kelaparan yang berkepanjangan dialami
benua Afrika dan telah mengakibatkan jutaan orang mati setiap tahun karena
kekurangan makanan. Laporan PBB (2012) menyebutkan setidaknya ada 870 juta
orang yang mengalami kekurangan gizi, dan sebagian besar tersebar di benua
Afrika. Bahkan laporan yang dilansir badan pangan dunia (FAO) berjudul State of
Food Insecurity in the World tahun 2012 menyebutkan angka yang mencengangkan, yaitu
sebanyak 2,5 juta anak mati setiap tahunnya akibat kekurangan gizi.
Upaya dunia
mengatasi krisis pangan sejak beberapa dekade terakhir, belum mampu menghasilkan
dampak yang signifikan bagi ketahanan pangan. Bahkan bisa diklaim mengalami
kegagalan. Hal itu terlihat dari Hasil deklarasi Roma di tahun 1996, yang juga
menjadi tujuan pembagunan milenium (MDG’s) di bidang pangan, menargetkan jumlah
penduduk yang mengalami kekurangan gizi dan pangan akan berkurang menjadi 400
juta jiwa di tahun 2015. Tetapi, nampaknya krisis pangan makin besar serta
jumlah jiwa yang kekurangan pangan semakin bertambah.
Ketahanan Pangan
Nasional
Krisis
pangan yang melanda berbagai belahan dunia saat ini, menyebabkan berbagai
kalangan mulai mempertanyakan tentang kesiapan pemerintah dalam menyiapkan stok
pangan nasional. Penurunan produksi pangan nasional menjadi sebuah kekhawatiran
bagi masyarakat indonesia. tujuan swasembada pangan yang selama ini
didengungkan pemerintah menjadi tidak terbukti. Bagaimana tidak, survey Badan
Pusat Statistik (BPS, 2011) menunjukan jumlah produksi pangan nasional seperti
produksi gabah kering giling (GKG) turun 1, 63% di tahun 2011 dari sejumlah 65,
4 juta ton produksi tahun 2010, jagung
turun 6% menjadi 17,2 juta ton, dan kedelei turun 4% menjadi 870 ribu ton.
Kementerian
Perindustrian (2011) bahkan mengumumkan tujuh bahan pangan utama nasional
mengalami defisit US$ 9,2 M oleh karena nilai ekspor hanya sebesar US$ 150
juta. Hal tersebut menyebabkan pemerintah mengambil langkah tanggap dengan
memperbesar jumlah impor bahan pangan. Impor bahan pangan di tahun 2013
diperkirakan akan mencapai RP.9 triliun atau naik 11,6%, dan ini dianggap oleh
banyak pihak sebagai bagian dari kebijakan yang merugikan.
Membengkaknya
jumlah impor bahan pangan ini tidak lepas dari rendahnya produktifitas pangan
nasional. Menurut hemat penulis, beberapa hal penting yang menyebabkan
kekurangan stok pangan nasional Antara lain. Pertama, Maraknya konversi lahan pertanian menjadi lahan industri
dan perumahan. Hal Ini umumnya terjadi di wilayah yang tingkat kesuburan
tanahnya lebih baik seperti Pulau Jawa. Di Indonesia lahan pertanian hanya seluas
13,5 juta hektar, jauh jika dibandingkan dengan Thailand 9 juta hektar yang
penduduknya empat kali lebih sedikit dari Indonesia. Kedua, penyebaran lahan pertanian yang tidak merata di beberapa
daerah. Ketiga, produktifitas petani
menurun. Keempat, ketergantungan terhadap
konsumsi beras yang sangat tinggi.
Di
tahun-tahun mendatang, kebijakan politik pangan nasional harus mampu memenuhi
kebutuhan konsumsi nasional. Oleh karena itu, upaya minimalisir konversi lahan pertanian
yang marak terjadi, terutama di Pulau Jawa. harus secara serius dilakukan.
Selain itu alternatif pangan lokal
selain beras menjadi pilihan terbaik ditengah ketergantugan kebutuhan beras
yang sangat besar. Kebijakan anggaran pemerintah juga harus pro terhadap petani.
Karena selama ini anggaran di bidang pertanian relatif lebih rendah dibanding
anggaran untuk bidang lainnya. di tahun 2013, kementerian pertanian hanya kebagian
alokasikan anggaran sejumlah 19,3 triliun dari total APBN 1.657 triliun.
Dengan jumlah anggaran yang relatif kecil ini, kedepan upaya mengatasi dampak krisis pangan akan semakin sulit dilakukan dan tujuan swasembada pangan hanya memjadi mimpi manis yang entah kapan bisa terwujudkan.
Dengan jumlah anggaran yang relatif kecil ini, kedepan upaya mengatasi dampak krisis pangan akan semakin sulit dilakukan dan tujuan swasembada pangan hanya memjadi mimpi manis yang entah kapan bisa terwujudkan.