Menakar Bobot Koalisi Partai Politik Pada Pemilukada

 

Dalam Negara demokrasi, partai politik (parpol) mempunyai posisi sangat esensial dalam pembangunan demokrasi, bahkan menjadi salah satu pilar utama  penyokong berdirinya sistem demokrasi. Pilar parpol berjalan dalam mekanisme sistem demokrasi. Posisi sedemikian penting yang diperankan oleh parpol menjadikannya sebagai penentu di berbagai aktivitas politik, termasuk politik lokal. Wajah politik lokal dicerminkan parpol di aras lokal sebagai penyambung kehendak publik, terutama saat parpol berperan dalam kontestasi pemilihan umum kepala daerah (Pemilukada). Namun, kerap parpol tidak menjadi wajah publik yang sesungguhnya, parpol berjalan dengan kehendak elitnya sendiri tanpa adanya peran serta konstituennya.

Pemilukada menyediakan ruang yang terbuka bagi pelibatan rakyat untuk menentukan pilihan-pilihan politik. Ruang yang terbuka ini dijamin oleh Undang-undang 32 tahun 2004 tentang otonomi daerah. Undang-undang tersebut menjadikan parpol sebagai satu-satunya institusi yang berhak mengajukan pasangan calon kepala daerah di pemilukada. Meskipun demikian, kekecewaan publik atas sikap elite parpol kerap terjadi, parpol nyaris tidak pernah berdialog atau meminta pendapat konstituen secara langsung dalam menggusung figur calon kepala daerah.

#Pola Koalisi
Di politik lokal, parpol cenderung terfragmentasi secara tajam, sebab tidak ada aturan yang mengatur tentang ambang batas masuk parlemen (parlemantery trashold), ambang batas ini hanya diatur untuk parpol di aras pusat. Oleh sebab itu, komposisi parpol dalam parlemen sangat banyak dan jarang sekali ada parpol yang secara tunggal memenuhi persyaratan undang-undang untuk mengajukan calon kepala daerahnya. Keadaan tersebut menghendaki adanya koalisi diantara parpol.

Dampak yang terlihat dari koalisi parpol ini adalah kesepakatan yang kelak terjadi antara parpol dalam mengusung kandidat calon kepala daerah. Parpol secara ideologi juga terfragmentasi, sehinggah paradigma politiknya pun  berbeda. Namun kemudian ada konsensus yang menyatukan antara beberapa partai politik yang terlibat koalisi. Arend Lijphart (1995) membagi kecenderungan pembentukan koalisi parpol menjadi dua bagian: pertama, koalisi yang didasarkan pada preferensi tujuan kebijakan yang hendak direalisasikan (policy-based coalitions), kedua, koalisi yang tidak didasarkan atas pertimbangan kebijakan (policy blind coalitions).

Kecenderungan yang kemudian muncul dari pola koalisi ini adalah sifatnya yang pragmatis dan taktis dibanding ideologis dan programatik. Parpol yang cenderung berbeda menurut prinsip dasar ideologi ini, kemudian mempunyai kesepahaman dalam mengusung kandidat calon kepala daerah. Posisi partai sebagai wadah partisipasi masyarakat kemudian ternegasikan oleh kepentingan segelitir elit dalam parpol. Konsesi-konsesi dan “upeti” dari calon kepala daerah lebih menentukan arah dan pola koalisi dibanding nilai dasar parpol itu sendiri.

Ini sebuh ironi dalam politik-kepartaian kita, kinerja parpol secara tidak langsung telah jauh dari akarnya. Simbolisme rakyat terpatahkan oleh pragmatisme parpol. Seolah rakyat adalah bagian lain dari sebuah lakon politik yang hendak dipertontonkan. Secara teoritik, pelibatan masyarakat sangat penting sebagai bagian tak terpisahkan menyangkut jalannya proses demokrasi itu sendiri. penguatan secara sistemik ditandai dengan seberapa besar ruang publik yang tersedia dalam menajement kepartaian bagi pelibatan konstituen menyangkut kebijakan atau keputusan-keputusan parpol.

Di beberapa daerah bahkan terjadi kasus dimana konstituen parpol mengungkapkan kekecewaan mereka atas keputusan elite parpol yang menurut mereka tidak dilakukan secara demokratis. Kerap terjadi konflik dalam tubuh kepengurusan partai dipicu oleh berbedanya pemahaman dan kepentingan elit di jajaran kepengurusan partai, mulai dari proses rekomendasi hinggah konflik antara DPC-DPD maupun DPP parpol, hal ini menunjukan wajah pragmatis lebih mendominasi proses tersebut. Watak elitisme dalam kebijkan ini menandai hampir setiap proses seleksi kepemimpinan di pemilukada

#Platform atau Pragmatisme
Tentu jalannya proses demokrasi akan sangat lambat jika bobot koalisi parpol di pemilukada menunjukan karakteristiknya yang pragmatis. Kecenderungan koalisi yang terbangun di berbagai pemilukada menunju ke arah koalisi berbasis ‘konsesi politik”. Parpol tidak sampai pada proses penyusunan agenda bersama dan kesamaan visi antara parpol dan pasangan calon kepala daerah, parpol hanya sekedar menjadi penyedia mesin politiknya tanpa terlebih dahulu bersepakat tentang platform bersama. Kecenderungan lain yang terlihat juga adalah koalisi parpol lebih bertujuan untuk memaksimalisasi kekuasaan (office seeking).

Dasar dari koalisi sering kali menjadi absen untuk dibahas. Kesan partai tanpa visi dan ideologi yang jelas menjadi hal yang biasa dalam politik indonesia. Hal tersebut juga terjadi dalam proses koalisi parpol pengusung pasangan calon. Koalisi yang terbentuk memperlihatkan banyak warna, namun warna tersebut hampir sangat sulit dibedakan ketika semuanya berembuk menjadi sebuah koalisi.

Masa depan politik sangat dipengaruhi oleh sejauh mana partai politik bekerja menurut prinsip-prinsip demokrasi. koalisi parpol dengan tujuan memaksimalisasi kekuasaan boleh saja terjadi, tetapi hendaknya tidak meninggalkan tujuan dan platform sebagai sesuatu yang mendasar dari parpol. Konsesi politik tanpa memperdulikan basis platform dan visi parpol akan menjadikan demokrasi lokal berjalan pada rel yang rapuh, kepemimpinan daerah yang dihasilkan juga menjadi jauh dari harapan rakyat.

Gerontokrasi Politik Lokal


                                             
Gemah Putra
Politik indonesia sedang mengalami laju proses konsolidasi yang signifikan dalam segala lini politiknya. Sejak reformasi digulirkan tahun 1998, perubahan ke arah bentuk politik yang demokratis semakin jelas dengan terbukanya keran kebebasan. rakyat dengan bebas mendirikan partai politik, regulasi kepartaian dan pemilu yang dinamis, desentralisasi pemerintahan, dan berbagai upaya pembenahan kelembagaan dalam mendukung proses demokrasi. Namun, ditengah sukses proses konsolidasi demokrasi yang semakin matang tersebut, ternyata masih menyisakan satu masalah penting yang terabaikan, yakni masalah Gerontokrasi yang kuat dan menggurita dalam langgam politik kita.

#Tentang Gerontokrasi
Dalam ilmu sosial, gerontokrasi (gerontocracy) dimaknai sebagai sebuah tatanan sosial politik yang dikendalikan atau di dominasi oleh orang-orang tua, mereka menjadi penentu dan pengendali utama di sebuah organisasi.  gerontokrasi ini bukanlah hal baru di masyarakat kita, pola hubungan kekuasaan yang gerontokratik telah lama terbentuk di berbagai tempat. Dalam lembaga-lembaga politik, sosial, maupun keagamaan, kontrol orang-orang tua menjadi faktor utama penghambat lajunya sebuah proses perubahan.
Konservatif, lambat dan kaku, itulah ciri umum yang melekat pada kepemimpinan kaum tua. Gelombang perubahan yang demikian deras terjadi,  bisa saja tidak diimbangi oleh mereka yang tua, sebab perubahan yang cepat selalu membutuhkan kecepatan pengambilan keputusan, gesit dalam mencermati situasi dan tentu saja kuat secara fisik dalam menjalankan berbagai aktifitas.
Demokrasi akan menjadi mandek dan terhambat oleh eksistensi kelompok tua. indonesia baru satu dekade memulai konsolidasi demokrasinya, kelompok tua bisa menjadi faktor utama penghambat konsolidasi tersebut, sebab merupakan bagian dari rezim lama dengan gaya dan karakter politik yang anti perubahan.
Kaum tua dalam sikap politiknya cenderung mengejar dan haus akan kekuasaan. Itu sebabnya eksistensi kaum tua akan menghambat pengembangan kaum muda, sebab kaum muda selalu akan muncul dengan gagasan-gagasan segar tentang perubahan, dan itu menjadi ancaman serius terhadap kaum tua. Eksistensi gerontokrasi dalam politik akan menghambat dua hal penting menyangkut konsolidasi demokrasi. Pertama, regenerasi politik menjadi terhambat karena tertutupnya ruang untuk kaum muda dalam sirkulasi kepemimpinan. Kedua, trasisi ke sitem politik yang lebih demokratis akan mengalami kesulitan karena watak kaum tua yang koservatif dan anti perubahan.
Menurut pakar politik Eep Saefullah Fatah, Gerontokrasi yang meluas membawa serta sejumlah bahaya, baik Politik diam-diam maupun terang-terangan kerapkali bekerja untuk menumpulkan kesadaran orang-orang muda, menumpas kekuatan orang-orang muda dan menutup kesempatan bagi orang-orang muda .

#Era baru Kaum Muda
Bahaya gerontokrasi yang nampak nyata dan cenderung menghadang jalannya sistem demokrasi, menghendaki adanya upaya serius secara politik untuk menghindari budaya politik ini. memang dalam menghadang kekuasaan yang didominasi oleh kelompok orang-orang tua ini bukanlah perkara mudah. Di negara-negara yang telah matang dan maju demokrasinya pun kerap menghadapi masalah gerontokrasi. Perlu komitmen yang sungguh-sungguh untuk menciptakan budaya politik yang dapat memberikan kesempatan yang sama bagi setiap kelompok, sehinggah kehidupan demokrasi yang sehat dapat diterapkan dalam jagat politik.
Dalam politik lokal, ancaman gerontokrasi juga berlangsung. Banyak kepala daerah yang menjadikan basis kekuasaan politik berada pada sekumpulan politisi tua yang bercokol lama di lingkaran utama partai politik maupun di pemerintahan. Realitas politik lokal diciptakan seolah-olah kaum tua adalah kelompok yang memiliki kematangan politik dan pengalaman pemerintahan yang baik, padahal tidak sedikit kaum tua di politik lokal yang gagal dalam melakukan pembangunan di daerah. Ini terlihat dari banyaknya kepala daerah yang terdiri dari orang-orang tua yang banyak terlibat dalam perkara korupsi maupun penyalahgunaan kekuasaan.
Bercermin dari ancaman di atas, perlu kiranya menyediakan alternatif politik kaum muda yang yang secara langsung maupun tidak langsung terlibat di kontestasi elektoral (pemilu) sebagai cara menghadang  berakarnya budaya politik gerontokrasi. Kasus kemenangan Joko widodo di Pemilukada DKI Jakarta, Ganjar Pranowo di Jawa Tengah, dan Bima Arya di kota Bogor, menunjukan bahwa sebenarnya masyarakat menginginkan alternatif pemimpin yang cekatan dari kalangan kaum muda. Kelompok kaum tua semakin tidak mendapatkan kepercayaan (trust) dari masyarakat.
Ditengah kemenangan politisi muda di beberapa pemilukada, ada angin segar dalam tradisi politik kita yang selama ini diwarnai wajah-wajah lama yang dominan dari kelompok kaum tua. Gelombang kepercayaan akan kualitas yang dimiliki kaum muda lamban laun mulai dipahami masyarakat. Budaya politik lama mulai perlahan tergerus. kepercayaan masyarakat sangat dibutuhkan untuk mendukung terciptanya budaya politik yang terbuka ini.
Oleh sebab itu merupakan tanggung jawab yang fundamental untuk secara kolektif mengupayakan terwujudnya kesempatan politik yang terbuka ini untuk bisa di akses oleh setiap kelompok. Arah baru politik kaum muda semakin mendapat tempat. Wajah politik kita mulai menuju ke arah kematangan, ada asa tercipta dalam demokrasi, bahwa kesempatan politik dimiliki semua orang. Kaum muda adalah masa depan politik indonesia, dan pendorong utama majunya demokrasi sebuah bangsa.