Pemilihan umum adalah proses penting bagi sirkulasi elit. sebab demokrasi menghendaki adanya batasan terhadap masa kepemimpinan di jabatan² politik. namun, proses sirkulasi elit itu kerap dibajak justru oleh parpol sendiri melalui penentuan rekomendasi calon kepala daerah yang kental nuansa elitis. 

secara teoretis prosedur rekomendasi dilakukan dengan dua cara (Almond dan Powel, 1998):

Pertama, Prosedur tertutup (Closed recruitment process). prosedur ini mutlak menjadi otoritas elit parpol sepenuhnya. tidak ada proses berjenjang yang dilalui, kalaupun ada, hanya bersifat formalitas.

Kedua, Prosedur terbuka (Opened recruitment process). pada proses ini setiap kandidat di dudukan pada posisi setara, di uji dihadapan publik, indikator penilaian dijabarkan dan diumumkan ke publik, rasional dan Objektif, publik dapat mengakses perkembangan, dan ditentukan oleh integritas dan kualitas.

pada kenyataannya, riil politik menunjukan pengambilan berbagai keputusan menyangkut rekomendasi calon kepala daerah selalu diputuskan oleh lingkaran inti parpol di level atas yang tertutup dan berlangsung di "ruang gelap".

setidaknya ada empat penyebabnya: Pertama, hampir semua parpol menggunakan manajemen Top-Down dalam pengambilan keputusan-keputusan penting.

pada proses perekomendasian calon kepala daerah, pemberian rekomendasi menjadi domain elit pusat. pengurus yang berada di level bawah diwajibkan melaksanakan isi keputusan tersebut.

ini yang oleh sosiolog Robert Michels disebut sebagai kecenderungan elit melembagakan Oligarki di Partai Politik.

di semua parpol, kecenderungan otoriter tampak pada hak mutlak pimpinan parpol untuk menentukan siapa yang harus menerima rekomendasi (one man show).

tidak ada pendelegasian keputusan untuk setiap jenjang parpol. pada konteks ini parpol di setiap level bawah tidak berperan signifikan sebagai penentu. pengurus partai di level ini hanya sekadar menjalankan proses formal seperti pendaftaran kandidat, uji kelayakan dan kepatutan, tes psikologi dan lain-lain yang sebenarnya tidak secara signifikan mempengaruhi keputusan elit parpol di level atas untuk menentukan kepada siapa rekomendasi akan diberikan.

Elit parpol di daerah umumnya hanya sekadar sebagai medioker yang berperan melalui jaringan ke atas untuk mempertemukan para kandidat dengan elit pengambil keputusan.

kedua, kecenderungan koncoisme. kebanyakan elit parpol memberikan rekomendasi kepada calon kandidat karena adanya kedekatan secara emosional maupun personal.

pola ini akan menihilkan kapabilitas politik dan kualitas pemahaman, serta ketajaman visi misi kandidat untuk mengelolah pemerintahan. pola ini pun menafikan semua proses sebelumnya yang diikuti para kandidat.

Ketiga, kultur pragmatis akut. fenomena ini adalah efek dari faktor pertama dan kedua. pragmatisme ditandai dengan mahalnya ongkos atau mahar untuk memperoleh rekomendasi partai.

pada akhirnya, elit parpol akan mensimplifikasi peran parpol hanya sekedar sebagai political broker semata.

Keempat, ada pengaruh pemilahan koalisi parpol pada level nasional yang akhir-akhir ini sedikit banyak mempengaruhi motif pemberian rekomendasi. misalnya, ada kecenderungan PDI Perjuangan dan Gerindra-PKS saling berhadap hadapan di banyak pilkada. atau PKB-PDI Perjuangan yang cenderung saling berkoalisi.
~~

Hukum besi Oligarki, selalu punya tempat di setiap institusi politik. kontrol terpusat parpol membuat subur Oligarki.

pertanyaan tentang seberapa berpengaruhkah penilaian DPD, seberapa pentingkah uji kelayakan dan kepatutan, dan seberapa pentingkah visi misi calon kandidat? saya meyakini proses itu tidak secara signifikan mempengaruhi keputusan elit partai. keputusan elit partai berdiri dengan subjektifitasnya.

keputusan yang bias Oligarki inilah yang biasa ditemui di lapangan. pada banyak kasus seringkali rekomendasi elit partai kepada kandidat tertentu tidak sesuai harapan dari DPD Partai. ini tentu saja berdampak pada tidak seriusnya setiap elemen partai di level bawah untuk memenangkan kandidat yang diusung.

mestinya parpol harus mempromosikan kandidat yang berkualitas, yakni memiliki kapasitas, integritas, legitimasi dan populer di mata masyarakat berdasarkan assesment dari level partai dari yang paling bawah, menengah, hingga elit pimpinan.

proses rekomendasi yang transparan, dan demokratis haruslah memilih orang-orang yang berkualitas dan mampu memperjuangkan kepentingan rakyat dan mewujudkan Kesejahteraan bagi setiap warga negara. Kesalahan dalam memberikan rekomendasi akan berdampak pada eksistensi partai dan kemajuan daerah.