Abdullah Tuasikal (Mantan bupati Maluku Tengah) sering sekali dalam komunikasi politik di Facebook memainkan power authority dengan melekatkan legitimasi kekuasaan para bupati walikota pada Said Assegaf melalui Gambar beberapa bupati-walikota yang disandingkan dengan Petahana Calon Gubernur Said Assegaf. 

lantas apakah Tuasikal ingin membangun persepsi publik bahwa SA di dukung penuh para Bupati walikota dan sudah pasti berimplikasi pada dukungan masyarakat luas? atau justru tanpa disadari menunjukkan lemahnya personal power (kekuatan individu) dari sang Petahana..?

*Fakta Politik

melihat model komunikasi ala Tuasikal ini beta malah ingat saat kecil seringkali berkelahi dengan anak-anak seumuran di komplek sebelah. biasanya anak yang tidak terlalu kuat justru datang dengan kerabat dari anak-anak lain yang terkenal paling kuat di setiap komplek. apa yang hendak ingin disampaikan anak lemah itu, bahwa dia paling kuat, padahal otoritas kuat yang ingin dia caplok justru adalah teman beta main enggo ðŸ˜‚.

lantas dimana titik lemahnya komunikasi politik model seperti ini.? pertama, Kesamaan Partai antara Petahana dengan para Bupati walikota tidak linear dengan dukungan pada Pilgub. Parpol tidak selalu dapat mengontrol pilihan politik Bupati walikota.

apalagi bupati yang hanya sekedar dicalonkan Golkar dan tidak punya hubungan hierarki organisasional, akan sangat cair karena ada banyak kepentingan parpol lain yang melekatkan otoritas pada dirinya.

bupati walikota kerap tidak menunjukkan diri sebagai subordinasi parpol, malah lebih sering berdiri dengan pilihan politik personal berdasarkan untung rugi yang di dapat dalam pemberian dukungan saat Pilgub.

bisa saja bupati Mukti Keliobas di SBT punya kepentingan sendiri yang tidak berkelindan dengan Petahana tapi justru mungkin dengan Abdullah Vanath, atau bahkan dengan Murad Ismail. bisa juga bupati Maluku Tenggara Anderias Rentanubun tidak mendukung Said Assegaf, jika suatu saat kepentingan keduanya tak kunjung bertemu, atau malah justru bersinergi dengan Herman Koedoboen yang juga Putra Maluku Tenggara.

kemungkinan-kemungkinan itu bergantung pada kepentingan untung rugi para bupati walikota.

kedua, dukungan bupati walikota tidak linear dengan pilihan publik. tidak ada rumus yang shahih tentang korelasi antara dukungan Bupati walikota pada salah satu pasangan calon Gubernur akan diikuti oleh pemilih. Rumusnya masih tetap one men one vote, rakyat punya otonomi politik.

Pada Pilgub 2013, Bupati Walikota dari partai Golkar tidak memainkan peran signifikan sebagai mobilisator pemilih untuk mendongkrak suara Said Assegaf.

Di Maluku Tenggara, Said Assegaf pada putaran pertama Pilgub 2013 hanya mampu memperoleh suara 7726 dari total DPT sebanyak 68 ribu. di Kota Tual Said Assegaf hanya mampu peroleh 6 ribu suara dari 39 ribu jumlah DPT, padahal di kedua daerah itu Kepala daerahnya adalah Kader sekaligus Ketua Golkar. yang meraup suara mayoritas pemilih justru Pasangan MANDAT yang diusung PDI Perjuangan.

sama halnya di Kota Ambon, Said Assegaf yang juga berasal dari Kota Ambon justru kalah di kandang. padahal Walikota Ambon adalah Kader Golkar. Said Assegaf terpaut jauh perolehan suara dari Pasangan MANDAT yang unggul di Kota Ambon.

ini menunjukkan jika klaim seperti yang digemborkan Tuasikal tidak mendapat pembenaran dalam fakta politik.

sekali lagi, Bupati Walikota mempunyai otonomi pada pilihan politik, yang tidak selalu subordinat dari Parpol. apalagi di Golkar, setiap politisinya punya kepentingan sendiri, cair dan fragmented.

ketiga, komunikasi politik semacam ini justru menunjukkan lemahnya Personal Branding dari kualitas kepemimpinan Petahana . model komunikasi politik dengan teknik melekatkan kandidat petahana dengan sumber kekuasaan lainnya biasanya dilakukan jika kandidat yang diusung tidak terlalu mempunyai individual power dan kualitas kepemimpinan yang dominan, citra diri lemah, hingga perlu ada bayang-bayang otoritas lain. ini justru menunjukkan ada semacam ketidakpercayaan diri dari petahana.

**Reputasi Pemberi Pesan

dalam komunikasi politik, seringkali pemberi pesan tidak berhasil mendapat dampak positif dari pesan yang disampaikan, justru malah kontra produktif bagi kandidat.

hal itu bisa terjadi karena sang komunikator bukan merupakan figur bertipe vote getters. jika figur tersebut tidak diterima publik, bisa saja publik yang tidak simpatik pada pemberi pesan justru berbalik menjadi antipati dengan pesan yang disampaikan. ini tentu merugikan petahana.

Setidaknya ada dua dampak jika Petahana memainkan gaya komunikasi politik dengan aktor semacam ini:

Pertama, Klaim dukungan politik itu hanya menciptakan efek adiktif bagi kesenangan politik petahana. dimana petahana menjadi lengah dan besar kepala atau dininabobokan dengan klaim tersebut.

Kedua, Petahana berpotensi kehilangan banyak dukungan dari clav pemilih yang simpati dengan Petahana namun antipati dengan kelompok pendukung petahana.

Contoh menarik dari kasus ini adalah ketika Pilpres 2014, banyak pemilih yang simpati dengan Prabowo Subianto, namun kerap yang tampil menyampaikan pesan-pesan politik adalah politisi yang "bermasalah" dan tidak dipercaya publik. akhirnya justru merugikan Prabowo.

Penentuan pilihan politik di Pilkada masih di dominasi oleh citra diri Kandidat yang tumpuannya ada pada Personality power.

jadi siapa kandidat yang Personality-nya kuat dan impresif..?