Salah satu problem mendasar dalam tata kelolah pemerintahan di Maluku adalah merumuskan kebijakan anggaran yang betul-betul menunjukkan kebutuhan publik. Saat saya membaca dokumen visi misi Herman Andrian Koedoboen (HAK) sebagai bakal calon Gubernur Maluku 2018, dia menempatkan persoalan ini sebagai salah satu masalah krusial yg harus segera di tangani. Bagi saya HAK punya kemauan politik (political will). sebagai seorang birokrat, HAK tentu paham bahwa akar masalah problem ini adalah Tidak adanya kemauan politik dan kemampuan manajerial.

anggaran daerah (APBD) adalah alat (instrumen) penting untuk melihat kebijakan dan orientasi Pemerintah. dengan mencermati alokasi anggaran, arah dan orientasi pemerintah dapat diketahui. terus bagaimana caranya kita melihat sejauh apa APBD yg ada telah memperlihatkan pengelolaan yg berdasarkn prinsip good governance: pertama, dari segi proses penganggaran sejauh mana seluruh perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan melibatkan masyarakat. kedua, bagaimana wajah anggaran dilihat dari sisi pengeluaran telah terjadi, baik mengenai belanja rutin, pembangunan, belanja aparatur, belaja modal di komposisikan. Ketiga, sejauh mana rekapitulasi anggaran belanja per SKPD lebih mencerminkan kebutuhan masyarakat daripada kebutuhan penyelenggara pemerintahan. keempat, prinsip-prinsip apa saja yg dijadiin landasan pengelolaan anggaran dan bagaimana realisasinya. kelima, bagaimana porsi anggaran untuk pengentasan kemiskinan yg dijanjikan saat kampanye tahun 2013 diterapkan, apakah benar atau sebatas retorika.

terus bagaimana dengan kebijakan anggaran di Maluku di bawah Gubernur Said Assegaf (SA). Tahun 2016 Maluku masih menempatkan Belanja rutin sebesar 58-60% tidak sebanding dengan jumlah personil Pegawai, alokasi anggaran pendidikan dari APBD murni hanya 7% padahal angka buta huruf dan indeks pendidikan serta infrastruktur pendidikan kita masih dibawah rata-rata nasional. anggaran untuk Pendidikan seharusnya 20% dari presentase APBD. Anggaran Kesehatan hanya terpaut di angka 8.59% tidak sampai 10% padahal angka gizi buruk masih tinggi, fasilitas pelayanan kesehatan masih minim. anggara sosial hanya 2,8 miliar dari APBD murni, bagaimana mau keluar dari provinsi termiskin ketiga di Indonesia.

belum lagi anggaran untuk pengembangan koperasi dan UMKM yg notabene sebagai pilar kesejahteraan masih sangat minim, padahal UMKM mampu menciptakan lapangan pekerjaan yg cukup besar. bagaimana kita melihat komposisi anggaran tersebut, Porsi anggaran yg seharusnya diletakkan pada bidang tertentu pada akhirnya harus dikurangi dari yang semestinya dan dialokasikan untuk penyelenggaraan formal pemerintahan. tentu ini tidak mencerminkan political will untuk menyejahterakan masyarakat. padahal ini baru gambaran komposisi anggaran saja, belum kita melihat efektivitas programnya. dalam komposisi anggaran tersebut sebenarnya masih terdapat di dalamnya biaya rutin, jadi tidak secara keseluruhan sebagai belanja langsung. jadi dapat ditayangkan betapa kecilnya efek anggaran tersebut bagi masyarakat.

prioritas belanja daerah ternyata masih cenderung bias kepada pembiayaan mesin birokrasi dan kurang berpihak pada upaya yg langsung bersentuhan dengan kesejahteraan rakyat. situasi ini ironis. pemerintah yg dibentuk untuk melayani dan melindungi kepentingan publik ternyata menghabiskan sebagian besar sumber daya anggaran untuk mengurus dirinya sendiri (self service).

padahal, salah satu prasyarat untuk keluarga dari kemiskinan adalah pemerintah daerah harus mampu merumuskan kebijakan anggaran dan program yang betul-betul pro rakyat dan bisa mengeluarkan Maluku dari predikat termiskin ketiga di Indonesia.

Proses Perumusan anggaran pun masih di dominasi model teknokrat elitis, padahal proses mewujudkan democratic budgeting sudah ditetapkan pemerintah pusat seperti proses bottom up perencanaan anggaran, hanya saja keputusan akhir dari dokumen usulan masih di dominasi SKPD. bahkan seringkali wajah program dan usulan anggaran untuk dibahas di DPRD dari tahun ke tahun nyaris tidak mengalami perubahan yg signifikan.

Pada akhirnya hanya pada Kemauan politik pemimpin pemerintahan untuk menciptakan anggaran yg pro rakyat lah yg mampu secara cepat mewujudkan kesejahteraan sebagai tanggung jawab Negara (state obligation) bagi masyarakat. dan saya hanya baru melihat Herman Andrian Koedoboen saja yg mempunyai komitmen untuk membenahi hal ini. ini merupakan tanggung jawab bersama untuk mendorong terwujudnya anggaran pro rakyat.