Selalu saja Gubernur atau Wakil Gubernur bersikap resisten jika ada penilaian tentang kinerja pemerintahan. meskipun lembaga yang menilai adalah otoritas formal negara.
Entah kenapa sejak dulu narasi soal kemiskinan di Maluku selalu dibangun dalam konteks kesalahan Pemerintah Pusat. mungkin ini warisan perlawanan terhadap cara berfikir sentralis Orde Baru.
memang ada sedikit aturan dalam distribusi anggaran menyangkut proporsi jumlah transfer anggaran pemerintah pusat yang tidak menguntungkan Provinsi dengan tipikal geografis Kepulauan, tapi seberapa signifikan terhadap pengentasan kemiskinan sehingga menjadi satu-satunya faktor dominan penyebab Maluku tak kunjung sejahtera. ini tak lebih dari buruk muka cermin dibelah. bagaimana dengan Maluku Utara dan Kepulauan Riau, Sulawesi Tenggara, yang jauh lebih sejahtera dibanding Maluku yang usianya setua usia Republik ini. ðŸ˜¬
Fakta bahwa Maluku adalah Provinsi dengan presentase miskin terbesar ketiga se-Indonesia tidak perlu dibantah oleh Gubernur Said Assegaf dengan mempertanyakan indikator yang di tetapkan dalam mengukur Kemiskinan oleh BPS. ini menunjukkan Assegaf menolak dinilai gagal, padahal jika menyangkut bantuan anggaran pemerintah pusat, tiba-tiba teriak paling miskin.
Gubernur Assegaf beranggapan 14 indikator Kemiskinan yang digunakan BPS tersebut tidak mewakili karakteristik sosial masyarakat Maluku. bagi Assegaf Jika anda-anda para Profesor doktor dan ahli sosiologi dan kemiskinan dari berbagai universitas datang ke Maluku dan menyaksikan ada rumah yang berlantaikan tanah dan tidak punya apa-apa sebagai isi rumah maka itu belum bisa disebut miskin.
bahkan menurut sang Gubernur kalau Orang Maluku terbiasa tidur di atas tanah untuk menyerap energi positif dari unsur tanah. kayak Avatar yg menyerap kekuatan energi dari elemen tanah ðŸ˜‚😂😂
*Kesalahan Berfikir
Bagi Assegaf Ditetapkannya Maluku Sebagai Provinsi paling bahagia adalah sebuah prestasi yang sangat dibanggakan. meskipun mengukur indeks Kebahagiaan dan kemiskinan memiliki indikator berbeda, namun Gubernur lupa bahwa bahagia adalah karakter masyarakat Maluku yang religius dan punya ikatan kekeluargaan yang kuat, sedangkan kemiskinan adalah buah dari salah urus Pemerintah daerah.
soal kemiskinan Maluku, tidak ada yang lebih pantas disalahkan selain kinerja buruk Pemerintahan Gubernur dan Wakil Gubernur Maluku.
Jika dengan menghitung pendapatan per kapita saja sudah 21% orang Maluku yg Miskin apalagi menghitung jumlah yang berada sedikit di atas garis kemiskinan, maka bisa mencapai 60% atau lebih penduduk di Maluku yg sangat rentan mengalami kemiskinan jika ada sedikit saja guncangan ekonomi.
Gubernur harusnya memahami jika indikator Kemiskinan itu diperluas maka satu orang Maluku mungkin tdk dikategorikan sebagai miskin dlm pendapatan tapi di satu sisi ter kategori miskin dalam hal akses terhadap infrastruktur dan layanan dasar seperti akses kesehatan, pendidikan, sanitasi, air bersih, pelayanan birokrasi, dan indikator² pembangunan manusia lainnya. jika itu dijadikan patokan maka bukan tidak mungkin 75% dari Masyarakat Maluku setidaknya mengalami satu jenis kemiskinan.
**Salah Kelolah Pemerintahan
Kewenangan daerah menentukan arah pembangunan di zaman desentralisasi ini diikuti dengan tanggung jawab menyejahterakan masyarakat. jadi tidak elok memposisikan secara mutlak kesalahan berada diluar pemilik kewenangan.
kemiskinan Maluku adalah hal yang kompleks, namun setidaknya ada empat problem mendasar yang bersangkut dengan kewenangan pemerintah menghapus kemiskinan di Maluku.
pertama, Pertumbuhan ekonomi Maluku tidak berdampak positif bagi pengurangan kemiskinan. Pertumbuhan ekonomi provinsi satu ini memang aneh. distorsi. tumbuh 7.45%, di atas angka pertumbuhan ekonomi nasional, tetapi angka kemiskinan tidak pernah ditekan. persentase kemiskinan turun beberapa point tapi jumlah individu miskin bertambah (BPS, 2016). ironi. setiap persen pertumbuhan tak memberi dampak distributif pada kelompok miskin dan rentan, juga tidak menekan jumlah pengangguran terbuka.
Kedua, Tidak ada good will dari pemerintah dalam merancang pengeluaran/belanja anggaran (government spending) ditujukan bagi pengurangan kemiskinan.
contoh misalnya, belanja untuk sektor-sektor yang berhubungan dengan pemberantasan kemiskinan dan peningkatan IPM nyaris tidak diperhatikan. 58-60% anggaran masih diperuntukkan untuk birokrasi, kesehatan hanya 8%, pendidikan 7%, dana Pengembangan UMKM tak memadai, dinsos kekurangan anggaran.
jadi bagaimana pemerintah menjelaskan pertanggungjawaban pengelolaan uang daerah yang lebih dari dua triliun rupiah setiap tahun jika untuk menurunkan satu persen saja penduduk miskin Maluku pun tidak bisa.
tidak salah jika penelitian Centre for Budget Analysis (CBA) menunjukkan jika potensi kebocoran anggaran Pemerintah Provinsi Maluku adalah satu yang tertinggi di Indonesia: 800 miliar rupiah. ðŸ˜±
Ketiga, Minim Layanan Dasar bagi masyarakat Maluku. padahal layanan dasar adalah persoalan urgen. data menunjukkan tingginya angka kematian Bayi (386 bayi per tahun), angka buta huruf di Provinsi ini masih 10%, pengangguran terbuka yang masih tinggi. ini adalah faktor pendukung kemiskinan.
wajar jika Kementerian dalam Negeri dalam penilaian kinerja pemerintah provinsi se Indonesia pada tahun 2016 menempatkan Maluku pada rengking ke 25 dari seluruh provinsi.
Keempat, Pemerintah Provinsi tidak memiliki visi besar pemberantasan kemiskinan. tidak ada program Pemerintah Provinsi yang menonjol untuk penanggulangan kemiskinan. Pemerintah provinsi masih mengandalkan skema dan program Pemerintah Pusat seperti Program Keluarga Harapan, KIS, KIP, Bantuan usaha kecil, dlsb.
Fakta kegagalan mengelolah pemerintahan adalah akibat dari kapasitas pemimpin. pemerintah tidak mempunyai sama sekali polical will, pemerintah terperangkap pada rutinitas pengelolaan negara yang tidak memiliki tujuan pemberantasan kemiskinan.
bahkan mungkin Gubernur tidak memahami problem kemiskinan dan bagaimana cara mengatasinya, sehingga upaya tetap saja jalan di tempat.