Relasi Islam politik dan negara sejak jaman kolonial tidak pernah akur. Islam adalah agama yang sangat politik dan revolusioner, ajarannya mengatur banyak aspek politik, sehingga Islam menjadi agama yang paling kritis kepada praktik kekuasaan sepenjang sejarah. 

Kolonialisme Eropa tidak pernah bisa menjinakan islam politik dari doktrin melawan kekuasaan, sehingga sepanjang sejarah Indonesia pra kemerdekaan adalah catatan sejarah tentang perlawanan kelompok islam baik kesultanan maupun para ulamanya terhadap kekuasaan negara kolonial.

Yang menarik dari sejarah  perlawanan Islam politik pra kemerdekaan adalah kemandirian mereka membangun kekuatan dari dalam, tanpa bergantung pada kekuatan diluar mereka. Islam politik vis a vis negara kolonial.

berbeda saat era perjuangan kemerdekaan, islam politik secara sadar menempatkan diri pada kepemimpin gerakan nasionalis di bawah Soekarno-hatta dan melunak pada kompromi politik dengan kelompok nasionalis-jawa abangan di dalam perumusan Pancasila dengan mengesampingkan piagam Jakarta.

Kompromi politik itu rupanya setengah hati. tidak semua kelompok dapat menerimanya. dari sinilah ketegangan islam politik dengan negara sepanjang sejarah republik ini dimulai. 

tahun 1950an muncul dua alternatif perjuangan menjadikan islam sebagai ideologi negara. kelompok darul islam memilih jalan bersenjata dan kelompok Masyumi-NU memilih jalur parlementer.

Pada pemilu 1955, meskipun Islam politik tidak menang dan memiliki suara mayoritas di badan konstituante, namun dapat mencegah kelopok Nasionalis-Kristen untuk menyingkirkan Islam secara total dari konstitusi. 

Masyumi salah langkah dengan terlibat jauh ke perjuangan bersenjata PRRI. ini pintu masuk bagi Soekarno untuk bergerak tegas menentang Islam politik dan ide negara islam dengan membubarkan Masyumi, kemudian membubarkan badan Konstituante dan memulai rezim baru otoriter dengan demokrasi terpimpin. 

Saat kekuatan kelompok Komunis dan Nasional Soekarno melemah di pertengahan tahun 1960an, kelompok Islam politik mendukung Soeharto dengan menganyang kelompok Nasionalis dan Komunis. Kelompok Islam berharap ada kesempatan untuk bekerjasama dengan Soeharto dan memulai orde baru. kelompok Islam Politik salah tafsir, dan bersandar pada kekuatan yang salah dalam menyingkirkan Soekarno. ternyata Soeharto sama saja, tidak percaya pada kelompok Islam Politik.

Orde baru yang khawatir kekuatan Islam Politik akan bangkit kemudian menerapkan kebijakan-kebijakan yang mengekang, kooptasi dan represi. semua ormas islam politik dikanalisasi jadi satu dengan mengesampingkan perbedaan diantara mereka seperti NU yang lebih moderat dibanding kelompok modernis yang lebih pro negara islam. 

Orde baru sangat sistematis mengkerdilkan Islam politik. anak-anak muda islam dikirim untuk mempelajari Islam di Amerika dan Kanada agar dapat menandingi narasi negara islam oleh kelompok modernis islam yang rata-rata belajar di timur tengah. 

Institut Agama Islama Negeri/IAIN didirikan untuk mencetak santri-santri baru yang bisa menerima Pancasila sebagai sebuah konsep Negara yang Islamis dan legowo kepada asas tunggal. 

sejak saat itu praktis Islam politik kalah di segala lini. narasi negara Islam hilang dari wacana dan partai Islam sebagai sarana Islam politik di Parlemen melemah dan tidak memiliki daya tawar berarti.

Soeharto membangun kekuasaan orde baru dengan mengandalkan orang-orang jawa abangan dan kristen. mereka merupakan yang paling berpengaruh dalam menciptakan struktur politik dan kebijakan-kebijakan orde baru. sebut saja, Ali Murtopo, Yoga Sugama, dan Sudjono Humardhani. Ali Murtopo kemudian membentuk CSIS yang dimotori para intelektual Cina beragama katolik Roma sebagai pusat riset kebijakan bagi orde baru. 

beberapa kabinet Soeharto secara berturut-turut memperlihatkan posisi kunci yang dipengang oleh orang-orang kristen seperti JB Sumarlin, dan Radius Prawiro. di angkatan darat Soeharto mengandalkan Maraden Pangabean, Moerdani dan Sudomo.

Islam Politik menjadi muak kemudian meletus peristiwa tanjung priok tahun 1984.

tahun 1990an kelompok islam politik mulai muncul kembali. di tubuh kekuasaan orde baru ada banyak ketegangan antara Moerdani dan Soeharto yang berujung penggantian Moerdani dan pendukungan. Soeharto kembali melihat Islam sebagai kawan strategis. Islam Politik terlihat melunak dan bersandar pada BJ Habibie, orang kepercayaan Soeharto yang sama sekali tidak memiliki riwayat dengan kelompok islam politik. 

ICMI didirikan. narasi negara islam hilang. Kelompok Islam politik jadi bagian dari orde baru dan masuk ke jabatan-jabatan penting. akbar tandjung, ibrahim hasan, azwar anas, ginandjar kartasasmita, abdul latif dan tarmizi taher mengisi pos meteri. Gus dur dan Cak nur masuk ke Golkar. Jenderal santri seperti Feisal Tandjung dan Hartono memimpin militer, serta CSIS diganti perannya oleh CIDES. 

untuk kali ketiga Islam politik bersandar pada tokoh yang tidak lahir dari kelompok mereka, Habibie.

Setelah reformasi, kelompok islam politik merosot. wacana negara islam dan kembali ke piagam jakarta menjadi kehilangan relevansi. muncul bnyak sekali partai Islam yang fragmented dan kecil sehingga tidak memiliki dukungan kuat di parlemen. 

Kelompok Islam politik sampai hari ini pun tidak tampil terlalu mencolok dengan daya tawar tinggi kepada negara. partai politik islam hilang kepercayaan dari konstituennya, kelompok ekstra parlemen justru lebih hidup dan memimpin tapi selalu kembali pada siklus dengan bersandar kepentingan pada orang diluar mereka sendiri seperti ke Prabowo saat Pipres 2019.

Kelompok Islam Politik perlu evaluasi atas sejarah politik mereka selama ini dan memunculkan figur alternatif dari kalangan mereka sendiri yang mampu membangun kesadaran politik Islam sebagai agama mayoritas penduduk di republik ini.